Rabu, 06 April 2011

Ketika Rakyat Jelata Bicara Korupsi

POHON yang satu ini terbilang istimewa. Bentuknya spesial dan unik. Tumbuh kerdil dalam sebuah pot dangkal namun tetap nampak kesan indah, besar, dan tua seperti adanya di alam bebas. Bonsai, itulah nama tanaman yang populer di Jepang, kemudian merambah ke berbagai pelosok dunia hingga sampai juga ke Tanah Air.

Apa yang istimewa pada tanaman bonsai? Keindahan bonsai dilihat dari harmonisasi antara akar, batang cabang, daun, hingga keluarnya bunga pada jenis tertentu. Dari unsur yang akan membentuk satu keindahan yang harus diperhatikan dan menjadi satu syarat penting adalah arah gerakan dari bonsai.

Sebab, arah gerakan ini akan menentukan tema apa yang harus diambil untuk pertumbuhan selanjutnya. Nah, ngomong-ngomong soal bongsai sudah sepekan ini ramai dibicarakan. Tapi bukan keindahan dan harganya yang selangit. Bonsai yang satu ini tidak berupa tanaman. Tapi fungsi dan kewenangan yang dibonsai. Kok bisa gitu?

Adalah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang menjadi biangnya. Banyak kalangan dari mulai anggota dewan, aktivis
korupsi, pengamat, hingga praktisi hukum, lantang melontarkan kritikan terhadap urusan bonsai-membonsai tersebut.

RUU Tipikor disinyalir menyimpang agenda mengkerdilkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai agen pembasmi koruptor. Kalau benar adanya, malang nian nasib KPK ini. Dikerdilkan seperti bonsai dan diremehkan ibarat cicak. Tapi mau pengkerdilan kek, pembonsaianlah namanya, apapun itu hanya mainan elit di atas yang piawai beretorika masalah hukum dan politik.

Rakyat kecil tak bakalan ngerti otak-atik pasal dalam RUU Tipikor. Namun yang pasti, rakyat sudah jengah akan korupsi. Rakyat sudah muak dengan koruptor yang terus menggasak uang negara sehingga lagu kemiskinan kian lama didendangkan.

Edi Kusbana (23), biasa di sapa Bana ini sehari-hari bekerja sebagai penarik sampah di daerah Jeruk Purut dan Benda, Jakarta Selatan, dengan polos mengaku buta dengan penegakan hukum di negeri ini. Dia hanya tahu, maling ayam atau copet yang babak belum dihajar massa lantaran tertanggkap basah.

Bapak satu anak yang tinggal di lapak Ragunan saat dijumpai okezone, baru-baru ini, tengah asyik menikmati nasi kotak di samping Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia terlihat sangat lahap sekali ingga suapan nasi tak henti-henti diarahkan ke mulutnya.

Tidak jauh dari tempat duduknya, terlihat gerobak dorong yang setengah terisi sampah-sampah plastik. Sudah empat tahun pekerjaan pemungut sampah dilakoni. Meski harus bergelut dengan aroma bau setiap hari, pekerjaan demikian bagi Edi sudah cukup untuk menghidupi anak dan istri.

Pria yang berkulit gelap lantaran saban hari terbakar matahari ini sangat awam mengenai hiruk-pikuk yang terjadi di negara ini. Namun baginya, bisa makan dan hidup tenang sudah cukup untuk menikmati sisa umurnya. Dari lubuk hatinya paling dalam dia, punya harapan besar. “Saya suka liat di televisi kalau banyak koruptor di negeri ini. Ya, seharusnya pemerintah tegaslah untuk menghukum mereka. Hukum seberat-beratnya, kan mereka itu merugikan negara," ujarnya tanpa tendeng aling-aling.

Sekiranya hukuman apa yang pantas bagi koruptor? “Kalau bisa hukum mati sekalian, biar mereka kapok. Hukum yang setimpalah,” ucapnya sambil menyalakan rokok yang sejurus kemudian asap mengepul dari lubang hidung dan mulutnya.

“Koruptor seharusnya dihukum seberat-beratnya. Masa maling ayam sama koruptor cuma beda tipis. Loh, tidak adil. Jangan pake pembeda-bedaanlah," tukas Patak (47), sopir Metromini 605.A, saat beristirahat di pinggiran Terminal Ragunan.

Bapak empat anak yang tinggal di Cilandak, Jeruk Purut, ini menginginkan, siapapun yang bersalah harus mendapat sanksi. "Mentang-mentang punya duit bisa kesana-kesini, bayar ini bayar itu biar bisa lolos dari kurungan (penjara), loh enggak bisa gitu. Jadi tetep yang namanya salah harus dihukum. Kalau udah ada undang-undangnya. Ya, dijalankan sebaik baiknya. Memang susah ngelawan orang yang berduit. Nyatanya hukum bisa dibeli,” celoteh Patak penuh kejengkelan.

Hal senada diutarakan Ipin (41), warga yang tinggal tepat belakang Gedung Kejaksaan Jakarta Selatan. Pedagang bakso tusuk di depan pintu masuk Kebun Binatang Ragunan itu berujar, “Saya kurang mengerti dengan persoalan politik atau hukum sekarang. Maunya jalanin aja yang bener peraturan yang ada. Masalah korupsilah, apalah yang penting saya mah bisa makan aja.

Kemuakkan wong cilik terhadap korupsi pun terlontar dari Iyuk (47), warga Kebagusan, Jalan Masyur Ragunan, Jakarta Selatan. "Kalau menurut saya koruptor masukin aja ke kandang harimau di kebun binatang. Kalau perlu siapkan penjara khusus untuk kelas koruptor. Nah, di sebelahnya kasih tuh binatang buas, biar jera sekalian,” ucap pedagang boneka ini bersemangat sambil jarinya menunjuk-nunjuk arah Taman Margasatwa Ragunan yang tidak jauh dari lokasinya berjualan.






“Hakim dan jaksa juga harus tegas," timpalnya yang langsung ngacir sambil mendorong gerobak berisi boneka karena takut kebasahaan akibat mendadak hujan turun.

Apa yang disampaikan Edi si tukang sampah, sopir Patak, Ipin, atau pedagang boneka, Iyuk, hanyalah gambaran kecil dari kelas bawah yang gandrung akan penengakan hukum terutama dalam kasus korupsi. Hukum di negeri ini jangan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rakyat hanya menginginkan keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud dengan hukum sebagai panglimanya.





http://suar.okezone.com/read/2011/04/04/283/442330/ketika-rakyat-jelata-bicara-korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar